Setelah Stop Ekspor Nikel, Indonesia Mantap Menuju Pusat Industri Baterai Dunia

Netral.co.id

Slag nikel Huadi group diteliti untuk dijadikan sebagai bahan baku aspal. Dok Netral.co.id

Jakarta, Netral.co.id – Pemerintah Indonesia semakin serius mengelola potensi besar nikel sebagai komoditas strategis untuk membangun masa depan industri ramah lingkungan. Langkah ini diwujudkan melalui hilirisasi nikel secara terintegrasi, bukan lagi sekadar mengekspor bahan mentah.

Wakil Ketua Komite Hilirisasi Mineral dan Batubara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Djoko Widayatno, menyatakan bahwa hilirisasi nikel telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.

Namun, menurutnya, pengembangan industri baterai EV harus menjadi prioritas untuk menciptakan nilai tambah yang jauh lebih tinggi.

Sejak diperkuatnya larangan ekspor bijih nikel pada 2020, nilai ekspor produk olahan Indonesia melonjak drastis dari Rp17 triliun pada 2014 menjadi Rp510 triliun pada 2023. Indonesia kini tercatat sebagai eksportir nikel olahan terbesar di dunia.

“Capaian hilirisasi ini strategis, tapi untuk menjamin keberlanjutannya, diperlukan tata kelola yang baik dan pembangunan ekosistem industri yang menyeluruh,” kata Djoko, Sabtu 28 Juni 2025.

Ia menekankan pentingnya fokus pada produk akhir seperti baterai EV dan stainless steel. Nilai tambah dari baterai berbasis nikel sangat signifikan—produk mixed hydroxide precipitate (MHP) bisa memiliki nilai hingga 120 kali lebih tinggi dibanding bijih mentah, sedangkan sel baterai EV bahkan mencapai 642 kali lipat.

Djoko juga mengajak Indonesia untuk meniru keberhasilan Tiongkok dalam mengembangkan industri baterai, yang kini menguasai 60% pasar EV global dan 80% pasar baterai dunia.

“Kami mendorong pemerintah memperkuat regulasi lingkungan, meningkatkan pelatihan tenaga kerja lokal, serta mempercepat alih teknologi untuk mengoptimalkan manfaat hilirisasi nikel bagi bangsa,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya mengarahkan penggunaan nikel kelas satu (high-grade) untuk produksi baterai EV, bukan semata-mata untuk industri stainless steel.

Penggunaan teknologi ramah lingkungan seperti High Pressure Acid Leach (HPAL) dan penerapan standar Environment, Social, and Governance (ESG) di seluruh rantai pasok juga dianggap vital.

“Industri transportasi masa depan harus dibangun dengan prinsip keberlanjutan. Nikel kita harus menjadi fondasi transisi energi hijau, bukan sekadar komoditas ekspor jangka pendek,” pungkas Djoko dengan penuh keyakinan akan visi jangka panjang Indonesia sebagai kekuatan energi global.

Kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dimulai sejak 2014 terbukti menghasilkan dampak luar biasa. Dalam satu dekade, nilai ekspor produk olahan nikel melonjak dari sekitar USD 1 miliar menjadi lebih dari USD 33,64 miliar pada 2024.

Hilirisasi tersebut tidak hanya mendorong pertumbuhan industri pengolahan nasional, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja baru dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri secara signifikan.

Kini, Indonesia memasuki fase berikutnya yang lebih ambisius: membangun ekosistem industri baterai kendaraan listrik (EV) dari hulu ke hilir. Proses produksi mulai dari prekursor, sel baterai, hingga perakitan kendaraan listrik dirancang untuk dilakukan sepenuhnya di dalam negeri.

Pembangunan pabrik baterai skala besar di Karawang dan Morowali menjadi bukti konkret dari komitmen ini. Indonesia berharap dapat membentuk rantai pasok domestik yang tangguh dan bersaing di pasar global, seperti yang telah dicapai Tiongkok.

Negeri Tirai Bambu tersebut kini mendominasi industri EV dengan kontribusi lebih dari USD 150 miliar pada 2023 dan menjadi eksportir utama kendaraan listrik dunia.

Comment