Ardillah Abu
Akademisi Ilmu Sosial UIN Datokarama Palu
Menakar Kerja Kerja Politik Elite
Di tengah zaman yang ditandai oleh derasnya arus informasi, runtuhnya otoritas kebenaran, serta menguatnya ketidakpercayaan terhadap institusi formal, konsep “membangun pengaruh di atas pengaruh” menjadi semakin relevan dan mendesak untuk dipahami ulang.
Ini bukan lagi sekadar soal menambah kekuasaan atau memperluas jangkauan kendali, melainkan soal bagaimana membentuk legitimasi baru di atas reruntuhan otoritas lama mengelola persepsi, menguasai narasi, dan menciptakan resonansi yang lebih kuat dari sekadar jabatan.
Vilfredo Pareto, dalam teorinya tentang sirkulasi elite, menjelaskan bahwa sejarah kekuasaan selalu ditandai oleh pergeseran: elite lama digantikan oleh elite baru yang memiliki kualitas berbeda.
Dalam kerangka ini, elite yang mampu bertahan adalah mereka yang tidak hanya menguasai kekuasaan formal, tetapi juga lihai dalam memainkan strategi simbolik dan naratif mereka yang Pareto sebut sebagai tipe “fox”, si cerdik. Di era post-truth, strategi “fox” menjadi lebih dominan.
Pengaruh tidak lagi dibangun lewat struktur, tetapi melalui kemampuan membentuk persepsi publik. Maka, pengaruh sejati adalah ketika seseorang meski tidak memiliki otoritas formal mampu membentuk opini publik bahkan lebih kuat dari pejabat yang sedang berkuasa.
Sementara itu, Antonio Gramsci menawarkan kacamata lain yang memperkaya pemahaman ini. Melalui konsep hegemoni kultural, Gramsci menunjukkan bahwa kekuasaan yang paling kokoh bukanlah yang bersandar pada represifitas, melainkan yang berhasil mengakar dalam kesadaran dan nilai masyarakat.
Dengan demikian, membangun pengaruh di atas pengaruh berarti menciptakan hegemon baru—yang tidak harus berasal dari negara atau elite formal, tetapi bisa tumbuh dari budaya populer, tokoh publik, atau narasi yang menggema di ruang digital. Di titik ini, kita melihat bagaimana influencer, aktivis, atau figur karismatik bisa memiliki legitimasi yang melampaui pejabat formal.
Semangat zaman (zeitgeist) saat ini ditandai oleh dua arus besar: desentralisasi dan fragmentasi. Desentralisasi wacana membuat tidak ada lagi satu suara dominan atas kebenaran.
Fragmentasi kepercayaan membuat publik lebih percaya pada komunitas, tokoh, atau narasi yang terasa dekat—bukan lagi pada institusi resmi. Dalam lanskap semacam ini, pengaruh tidak lagi bekerja secara vertikal dari atas ke bawah tetapi secara horizontal dan cair.
Membangun pengaruh di atas pengaruh berarti menjadi simpul dalam jaringan kepercayaan yang tersebar, bukan lagi menara gading kekuasaan tunggal.
Demokrasi pasca-kebenaran (post-truth democracy) menuntut bentuk legitimasi baru. Validitas informasi sering dikalahkan oleh daya resonansi emosi.
Maka, pengaruh yang bertahan adalah yang mampu menyentuh perasaan, membangkitkan keterlibatan, dan membentuk kenyataan alternatif yang dipercayai secara kolektif.
Kebenaran dalam konteks ini tidak lagi absolut, tetapi dirundingkan secara sosial—dan siapa yang menguasai proses perundingan itulah yang membentuk realitas.
Akhirnya, membangun pengaruh di atas pengaruh dalam konteks hari ini memerlukan tiga hal: kecerdikan naratif, legitimasi partisipatif, dan ketahanan terhadap perubahan wacana. Elite lama jatuh bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena gagal membaca arah zaman.
Maka, kekuasaan sejati kini terletak pada mereka yang paling adaptif, paling mendalam memahami zeitgeist, dan paling piawai merangkai cerita yang diyakini sebagai kebenaran baru.
Comment