Penajam Paser Utara, Netral.co.id – Ibu Kota Nusantara (IKN) belum sepenuhnya rampung dibangun, namun problem sosial klasik sudah mulai menyusup ke wilayah calon pusat pemerintahan baru tersebut.
Sepanjang tahun 2025, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tercatat telah menertibkan 64 perempuan yang diduga sebagai pekerja seks komersial (PSK) di sekitar kawasan IKN, Kalimantan Timur.
Yang mencengangkan, para PSK ini bukan hanya berasal dari kota-kota sekitar seperti Samarinda dan Balikpapan, tapi juga datang dari jauh Bandung, Makassar, hingga Yogyakarta. Setelah ditangkap, mereka hanya diminta meninggalkan wilayah IKN dalam waktu 2-3 hari. Penanganan cepat, tapi tak menyentuh akar persoalan.
Fenomena ini bukan hal baru di kota-kota besar. Jakarta, saat masih menyandang status ibu kota, pernah mengalami gejolak serupa. Bahkan, pada dekade 1960-an hingga 1970-an, ledakan urbanisasi memicu munculnya kawasan prostitusi liar di berbagai penjuru ibu kota.
Situasi tersebut memaksa Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin (1966–1977), mengambil keputusan kontroversial: membuka lokalisasi resmi prostitusi di Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur No. Ca.7/1/13/70 pada 27 April 1970.
Bagi Bang Ali sapaan akrab Ali Sadikin lokalisasi adalah solusi pragmatis. Pemerintah tak sanggup menghapus prostitusi sepenuhnya, namun bisa mempersempit ruang gerak dan mengontrol aspek kesehatan melalui pemeriksaan medis rutin.
Namun keputusan ini tak lepas dari badai kritik. Ali dituding membiarkan eksploitasi perempuan dan melegalkan perzinahan. Dalam autobiografinya, Bang Ali: Demi Jakarta 1966–1977, ia mengakui tekanan moral dan agama yang ia hadapi. Tetapi ia bersikukuh, bahwa kebijakan tersebut lebih realistis ketimbang pembiaran liar yang justru memperparah kerentanan sosial.
Kramat Tunggak sendiri akhirnya ditutup pada 1999 dan kini bertransformasi menjadi Jakarta Islamic Center, menandai pergeseran paradigma penanganan prostitusi dari pendekatan pragmatis ke arah simbol religius.
Kini, IKN menghadapi dilema serupa. Sebuah wilayah yang dibangun untuk mencitrakan peradaban baru, justru disusupi praktik-praktik sosial lama. Jika tidak ditangani dengan strategi menyeluruh dan berkelanjutan bukan sekadar “sapu bersih”maka sejarah bisa saja berulang.
Pertanyaannya, apakah pemerintah punya pendekatan yang lebih manusiawi dan sistematis, atau justru kembali pada pola penindakan sementara tanpa solusi jangka panjang?
Jawabannya bisa menentukan wajah sosial IKN ke depan: apakah benar-benar menjadi kota masa depan, atau hanya Jakarta yang dipindah ke hutan.
Comment