Perang Tanpa Akhir: Strategi Politik Israel Mandek, Gaza Hancur, Palestina Terabaikan

Hampir dua tahun berlalu sejak Israel melancarkan operasi militernya di sejumlah front, termasuk Gaza, Lebanon, dan Iran. Meski berhasil meruntuhkan infrastruktur Hamas dan menekan kekuatan Hizbullah, Israel justru terjebak dalam konflik berkepanjangan tanpa arah keluar yang jelas.

Ilustrasi kekacauan imbas peperangan. (Foto: dok)

Tel Aviv, Netral.co.id–Hampir dua tahun berlalu sejak Israel melancarkan operasi militernya di sejumlah front, termasuk Gaza, Lebanon, dan Iran. Meski berhasil meruntuhkan infrastruktur Hamas dan menekan kekuatan Hizbullah, Israel justru terjebak dalam konflik berkepanjangan tanpa arah keluar yang jelas.

Menurut para analis, keberhasilan militer Israel tidak dibarengi strategi politik yang koheren. Upaya membangun relasi dengan negara-negara Arab berjalan, namun pemerintah Israel dinilai sengaja menyingkirkan isu Palestina dari agenda diplomatik. Hal ini, menurut pengamat, justru mempersempit peluang perdamaian jangka panjang di kawasan.

Gaza Hancur, Jumlah Korban Membengkak

Kondisi di Gaza kian memprihatinkan. Serangan bertubi-tubi telah meluluhlantakkan infrastruktur wilayah tersebut. Berdasarkan data otoritas kesehatan di Gaza, korban tewas telah mencapai lebih dari 58.800 jiwa. Namun, pemerintah Israel belum menunjukkan indikasi untuk menghentikan operasi militer.

Mengutip laporan Xinhua pada Senin (21/7/2025), para pengamat menilai kelanjutan perang hanya menguntungkan koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Koalisi yang didominasi partai sayap kanan dan kelompok ultra-Ortodoks itu diyakini sangat bergantung pada konflik demi stabilitas politik internal.

Netanyahu sendiri tengah menghadapi krisis kepercayaan publik dan proses hukum terkait kasus korupsi. Survei terbaru menunjukkan dukungan terhadap partai-partai koalisi terus merosot, dan kecil kemungkinan mereka akan mampu membentuk pemerintahan baru jika pemilu digelar saat ini.

“Kelangsungan koalisi ini tergantung pada kelanjutan perang,” kata Roee Kibrik, Kepala Riset di Mitvim, Institut Kebijakan Luar Negeri Regional Israel. Ia menyebut bahwa bahkan perundingan sandera hanya dijadikan alat untuk mempertahankan status quo konflik.

Kesepakatan Sandera: Diplomasi yang Buntu

Sinyal kesepakatan sempat muncul dalam perundingan di Doha, di mana Netanyahu menyebut kemungkinan gencatan senjata 60 hari dan pembebasan sebagian tawanan. Namun, pihak Hamas membantah adanya itikad baik dari Israel. Abu Ubaida, juru bicara sayap bersenjata Hamas, menegaskan bahwa Hamas telah berulang kali menawarkan kesepakatan menyeluruh, namun ditolak mentah-mentah oleh Israel.

“Jika Israel kembali menarik diri seperti sebelumnya, kami tidak menjamin kelanjutan perundingan,” ujarnya memperingatkan.

Oposisi dan Keluarga Sandera Desak Penghentian Perang

Desakan untuk menghentikan perang datang dari berbagai pihak di dalam negeri. Keluarga sandera dan kelompok oposisi mengecam pemerintah, menuding Netanyahu memperpanjang konflik demi keuntungan politik pribadi. Dalam berbagai aksi unjuk rasa, mereka membawa spanduk bertuliskan “Perang Membunuh Sandera.”

“Koalisi saat ini hanya fokus mempertahankan kekuasaan,” kata Eyal Zisser, pakar Timur Tengah dari Universitas Tel Aviv. Ia menilai pemilu dini dapat menjadi bencana bagi koalisi karena hasil jajak pendapat menunjukkan potensi kekalahan.

Faksi sayap kanan menuntut perang terus dilanjutkan, sementara partai ultra-Ortodoks menuntut anggaran tambahan dan pembebasan dari wajib militer. Ketegangan internal ini membuat pemerintahan Netanyahu semakin sulit bergerak, baik secara militer maupun diplomatik.

Zisser dan Kibrik sepakat bahwa pemerintahan saat ini tidak hanya menghindari proses diplomasi, tetapi juga secara aktif menolaknya. “Solusi dua negara tidak akan pernah mereka pertimbangkan,” tegas Zisser. “Bahkan pemberian otonomi pun mereka tolak.”

Menurut Kibrik, keberanian untuk membuka jalur damai dan kompromi dengan Palestina justru bisa menciptakan peluang kerja sama luas di kawasan. “Tapi selama pemerintahan yang ada tetap berkuasa, opsi itu hanya mimpi,” ujarnya.

Comment