MAKASSAR – Akhir-akhir ini, polemik dunia kemahasiswaan sangatlah mengkhawatirkan, berbagai permasalahan- permasalahan di tubuh internal maupun eksternal seringkali terjadi.
Pergantian kepemimpinan ketua organisasi kemahasiswaan (ORMAWA) silih berganti baik skala Himpunan, Fakultas bahkan Universitas, tak bertajuk harmonis dan bahkan mempertahankan status quo. Menelisik berbagai kepentingan kelompok dan serta pertarungan ideologi bendera organisasi eksternal.
Hal ini sangat mewarnai kondisi perpolitikan di kampus yang kian sangat sering terjadi, sehingga melibatkan birokrasi kampus dalam memutuskan suatu perubahan aturan hukum di dalamnya.
Dan begitu besarnya pertarungan dan kepentingan politik di setiap kampus yang ada. Namun, saya anggap itu hanyalah panggung sirkus yang menampilkan teatrikal kebodohan di dunia kampus.
Sangat mengecewakan dan tragis, pertarungan untuk memperebutkan kursi kekuasaan demi menjaga kaderisasi dan eksistensialisme.
Dalam Setiap momentum ini sangatlah berharga bagi setiap kelompok untuk menyiapkan kadernya dalam pertarungan kepemimpinan selanjutnya. Berbagai manuver politik dan posisi tawar menawar untuk masing-masing setiap koalisi dan berkoalisi untuk mencapai kepentingan bersama.
Mengapa saya menamakan panggung sirkus dengan teatrikal kebodohan, ini berkaitan dengan kondisi saat ini.
Kondisi lembaga ORMAWA sudah kehilangan akal sehatnya, dengan perpolitikan di dunia kampus yang masih dalam genggaman segelintir orang demi kepentingan politik dan berbagai tawar-menawar sesuai dengan harganya.
Mirisnya melihat lembaga kemahasiswaan yang di doktrinasi dengan militansi serta mengatasnamakan kemanusiaan, itu hanyalah bualan semata.
Banyaknya pemimpin ORMAWA yang senantiasa melakukan aksi sumpah pemuda, aksi september hitam dalam memperingati kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia serta mengucapkan sumpah mahasiswa dan menyanyikan buruh tani.
Namun, itu hanyalah jualan dalam momentumnya saja. Hal ini perlu diingat kembali, bahwa setiap orang yang masuk dalam lingkaran kepemimpinan harus mempersiapkan dan memperkukuh idealismenya.
Dalam setiap tahunnya banyak orang yang menganggap dirinya agent of change dan social of kontrol, sebagai bentuk simbolisme semata.
Lembaga ORMAWA saat ini, saya menganggap agent of pembodohan dan senior of kontrol, ini sangat selaras dengan kondisi mahasiswa yang senantiasa menerima segalanya dan menyampingkan kondisi-kondisi sosial yang sering terjadi di masyarakat.
Sehingga akselarasi gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa sangatlah berpengaruh, dikarenakan perbedaan sudut pandang kian berbeda. Disisi lain juga, lembaga ormawa pun sudah mengambil jarak dalam membangun gerakan.
Kita perlu ingat kembali, bahwa membentuk gerakan bersama masyarakat sipil merupakan salah satu kekuatan besar, namun hari itu hanyalah utopis dalam mewujudkan gerakan seperti itu.
Catatan buruk bagi lembaga kemahasiswaan, kerentanan dan degradasi gerakan serta penyatuan sudut pandang di masyarakat tidak bertajuk harmonis.
Karena tidak mandiri dalam menjalankan organisasi dan hanya menjalankan program gerakan jalanan secara momentum sangat memperburuk dalam situasi gerakan sosial.
Hilangnya moralitas dan hati nurani bagi orang-orang yang menjalankan jualan program gerakan dengan segelintir orang yang mengatasnamakan kemanusiaan dan menjalankan panji-panji gerakan islam, akan tetapi itu hanyalah demi kepentingan individu dan kelompoknya. Sehingga arwah dalam roda organisasi sudah menghilang setiap tahunnya dan serta minimnya gagasan yang bertajuk pada kebodohan dalam menjalankan organisasi yang sifatnya sosial.
Penulis Opini: A. Muh Iqbal
Comment