Jakarta, Netral.co.id – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan atau Noel, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kabar ini dikonfirmasi Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto. Namun, ia belum merinci detail kasus yang menjerat Noel.
“Benar,” kata Fitroh saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (21/8/2025).
Ia menambahkan, status pihak yang diamankan baru akan diumumkan setelah pemeriksaan selama 1×24 jam melalui konferensi pers.
Kasus Noel muncul di tengah penyidikan KPK atas dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan. Dalam perkara ini, delapan pejabat dan pegawai Kemnaker telah ditahan, dengan nilai pemerasan sepanjang 2019–2024 mencapai Rp53,7 miliar.
Mereka adalah:
- Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18 miliar
- Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13,9 miliar
- Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA (2021–2025): Rp6,3 miliar
- Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2,3 miliar
- Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,8 miliar
- Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,1 miliar
- Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580 juta
- Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460 juta
Selain itu, terdapat dana tambahan Rp8,94 miliar yang diduga dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk “uang dua mingguan”. Dana tersebut juga dipakai untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama tersangka dan keluarganya.
Modus yang digunakan adalah pungutan liar berjenjang. Permohonan RPTKA hanya diproses jika pemohon menyetor sejumlah uang. Jika tidak, pengajuan diperlambat atau diabaikan. Bahkan, dalam sejumlah kasus, pemohon baru dilayani setelah datang langsung ke kantor Kemnaker dan menyetor dana ke rekening tertentu.
Jadwal wawancara via Skype juga diatur manual dan hanya diberikan bagi pemohon yang membayar. Penundaan penerbitan RPTKA menimbulkan kerugian tambahan karena perusahaan dikenakan denda Rp1 juta per hari.
KPK menduga pejabat tinggi seperti Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni memerintahkan verifikator untuk menarik pungutan. Dana hasil pungutan kemudian dibagikan secara rutin kepada pegawai dan digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk jamuan makan malam.
Dari total Rp53,7 miliar, baru sekitar Rp8,61 miliar yang berhasil dikembalikan ke negara. KPK masih menelusuri aliran dana, termasuk kemungkinan adanya praktik serupa sebelum 2019.
Para tersangka dijerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Comment