Netral.co.id – Di balik indahnya garis pantai dan geliat pembangunan di Nusa Tenggara Barat (NTB), tersimpan cerita pilu tentang ekosistem yang makin tergerus: hilangnya mangrove seluas ±1.500 hektare. Ini bukan sekadar statistik, melainkan bencana ekologi yang nyata. Kerusakan ini tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga menghancurkan benteng alami masyarakat pesisir dari badai, abrasi, dan kehilangan mata pencaharian.
Mangrove di Sekotong, Lombok Barat, menjadi salah satu saksi bisu ekspansi proyek reklamasi ilegal dan galian C tanpa izin. Aktivitas ini bahkan dilakukan di ruang publik dan kawasan lindung. Lebih ironis, sebagian besar berlangsung dengan pembiaran aparat dan instansi teknis yang seharusnya menjadi benteng pertahanan terakhir bagi lingkungan.
Laporan WALHI NTB kepada Kejaksaan Agung sejak Maret 2025 terkait perusakan terumbu karang, tambang emas ilegal, dan galian C di Lombok Timur masih belum menunjukkan hasil nyata. Sementara itu, pohon-pohon mangrove terus ditebang, reklamasi terus berjalan, dan pasir terus dikeruk.
Secara hukum, pelanggaran ini bisa dijerat melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun dan denda miliaran rupiah. Namun hingga hari ini, belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan untuk kasus perusakan mangrove di NTB. Proses hukum berjalan lambat atau mungkin sengaja dilambatkan?
Apakah hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil? Apakah perusakan lingkungan akan selalu kalah oleh kekuatan modal dan pengaruh politik? Situasi ini menambah panjang daftar ironi keadilan ekologis di negeri ini, di mana suara alam dan rakyat pesisir kerap dibungkam oleh dalih pembangunan.
NTB saat ini sedang darurat lingkungan. Ini bukan sekadar peringatan, tapi panggilan untuk bertindak. Pemerintah daerah dan pusat harus serius menindak pelaku, mencabut izin, dan merehabilitasi kawasan yang rusak. Rakyat sipil, mahasiswa, dan media harus terus mengawasi dan menekan agar pelanggaran ini tidak dibiarkan menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Karena jika 1.500 hektare mangrove bisa hilang tanpa pertanggungjawaban, maka yang hilang bukan hanya pohon tetapi masa depan.
Penulis: Taufikurrahman
Comment