Makassar, netral.co.id – Bencana alam yang kembali melanda Aceh tidak dapat dipandang sekadar sebagai peristiwa ekologis. Ia adalah tragedi kemanusiaan yang menguji kesadaran moral, tanggung jawab negara, serta komitmen insan terdidik dalam menegakkan nilai keadilan dan kemanusiaan. Aceh, dengan sejarah panjang konflik dan bencana, seolah terus dihadapkan pada ujian berulang yang menuntut lebih dari sekadar empati sesaat.
Dalam perspektif Nilai Dasar Perjuangan (NDP) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bencana tidak bisa dibaca semata sebagai takdir alam. Ia harus dipahami sebagai momentum reflektif atas relasi manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Islam menempatkan manusia sebagai khalifah fil ardh, pemegang amanah untuk menjaga keseimbangan ciptaan. Ketika bencana hadir secara berulang, pertanyaan mendasarnya adalah apakah amanah itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, atau justru dikorbankan atas nama kepentingan ekonomi dan kelalaian kebijakan.
Bencana Aceh merupakan alarm keras bagi negara dan seluruh elemen masyarakat sipil untuk meninjau ulang arah pembangunan nasional yang kerap bersifat eksploitatif dan abai terhadap prinsip keberlanjutan. Dalam banyak kasus, bencana tidak lahir semata dari faktor alam, tetapi dari kegagalan kebijakan, tata kelola lingkungan yang lemah, serta minimnya keberpihakan pada keselamatan rakyat. Negara tidak boleh terus menormalisasi penderitaan sebagai “takdir”, sementara akar masalah struktural dibiarkan tanpa koreksi.
Dalam konteks ini, HMI sebagai organisasi kader dan perjuangan tidak boleh berdiri di luar persoalan. Kerangka NDP menuntut kader HMI menjadi insan yang kritis terhadap ketimpangan, berani menyuarakan kebenaran, dan konsisten mengawal amanah konstitusi. Solidaritas kemanusiaan tidak cukup diwujudkan melalui aksi karitatif semata, tetapi harus dibarengi keberanian moral untuk menegur negara, mendesak evaluasi kebijakan tata ruang, serta memastikan hak warga atas lingkungan hidup yang aman dan layak benar-benar dijamin.
Prinsip Ketauhidan dalam NDP menegaskan bahwa pengelolaan kekuasaan dan sumber daya alam tidak boleh lepas dari nilai ilahiah. Eksploitasi alam tanpa etika, pembiaran kerusakan lingkungan, dan lemahnya mitigasi bencana merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai tauhid itu sendiri. Alam bukan objek yang boleh diperas tanpa batas, melainkan titipan yang harus dijaga demi keberlangsungan hidup manusia.
Lima kualitas Insan Cita beriman dan bertakwa, berilmu, beramal, bertanggung jawab, serta berakhlak mulia—menjadi panggilan moral bagi kader HMI dan kaum intelektual untuk hadir secara aktif dalam situasi kebencanaan. Tidak cukup hanya turun sebagai relawan, tetapi juga sebagai penggerak kesadaran publik, pengawal kebijakan, serta pengkritik struktural ketika negara abai menjalankan tanggung jawabnya.
Dari sisi konstitusi, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sementara Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan tata kelola lingkungan yang berkeadilan serta sistem mitigasi bencana yang berpihak pada keselamatan rakyat.
Bencana Aceh harus menjadi cermin bahwa pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan adalah pembangunan yang rapuh. Negara tidak boleh hanya hadir setelah bencana terjadi, melainkan wajib memastikan kebijakan preventif, edukatif, dan berkelanjutan dijalankan secara konsisten. Di sinilah peran masyarakat sipil—termasuk HMI—menjadi strategis sebagai pressure group sekaligus mitra kritis negara.
Bagi Insan Cita, tragedi Aceh adalah panggilan sejarah. Panggilan untuk mengintegrasikan iman, ilmu, dan aksi nyata. Panggilan untuk memastikan kemanusiaan tidak dikalahkan oleh kepentingan sesaat, serta menjadikan konstitusi bukan sekadar teks hukum, melainkan napas dalam praktik kebijakan yang melindungi rakyat dan alamnya.
Aceh mengajarkan kita satu hal penting: menjaga alam berarti menjaga kehidupan. Dan bagi kader HMI, mengawal konstitusi serta membela kemanusiaan adalah bagian dari ibadah sosial yang tak boleh ditinggalkan.

Comment