Jakarta, Netral.co.id – Mantan Ketua DPR RI sekaligus terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov), resmi menghirup udara bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025). Keputusan ini menuai sorotan publik, terutama setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang meringankan hukumannya.
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menilai kebebasan Setnov menunjukkan lemahnya kepekaan hakim terhadap sifat luar biasa kejahatan korupsi. “Seharusnya ada kesadaran moral dari hakim tipikor, baik di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, MA, hingga hakim PK, bahwa perkara korupsi bukan perkara biasa. Mengurangi hukuman atau memberi vonis ringan seharusnya jadi beban moral,” ujar Yudi di Jakarta, Senin (18/8/2025).
Yudi menambahkan, celah hukum yang membuka ruang bagi napi korupsi mendapat remisi maupun bebas bersyarat muncul setelah MA mencabut PP Nomor 99 Tahun 2012 yang sebelumnya membatasi keringanan hanya untuk narapidana berstatus justice collaborator (JC). “Sekarang napi korupsi yang bukan JC pun bisa mendapat remisi dan bebas bersyarat. Padahal dulu syaratnya ketat, harus ada rekomendasi resmi dari KPK, polisi, atau jaksa,” jelasnya.
Kepala Kanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, membenarkan pembebasan bersyarat Setnov. “Setelah PK dikabulkan, hukumannya dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Perhitungan dua pertiganya jatuh pada 16 Agustus 2025, sehingga memenuhi syarat pembebasan bersyarat,” kata Kusnali. Ia menegaskan Setnov tetap diwajibkan menjalani wajib lapor di Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Pada 2018, Setnov divonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang sudah dititipkan ke KPK. Ia juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.
Namun, melalui putusan PK yang diketok majelis hakim MA pada 4 Juni 2025, hukuman Setnov disunat menjadi 12,5 tahun penjara. Hak politiknya pun hanya dicabut 2,5 tahun, separuh dari vonis semula.
Kasus e-KTP yang menjerat Setnov merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun.
Comment