Andai Tak Ada Beasiswa: Perjalanan Prof. Budu dari Kampung ke Panggung Akademik

IMG 20250331 081100

Makassar, Netral.co.id – Di sebuah desa kecil di perbatasan Maros dan Makassar, seorang anak petani tumbuh dengan impian besar. Namanya Budu hanya satu kata, namun kini dihiasi dengan sederet gelar akademik yang panjang: Prof. dr. Budu, Ph.D, Sp.M(K), M.MedEd. Ia bukan hanya seorang dokter spesialis mata ternama, tetapi juga guru besar di Universitas Hasanuddin (Unhas), universitas negeri terbesar di Indonesia Timur.

Namun, perjalanan menuju puncak akademik itu tidaklah mudah. Seandainya tak ada beasiswa, mungkin Budu akan tetap berada di sawah, mengikuti jejak ayahnya yang seorang petani sekaligus imam masjid kampung. Ibunya, seorang ibu rumah tangga tanpa pendidikan formal, juga mendukungnya dengan penuh doa dan kasih sayang.

Anak Desa dengan Mimpi Besar

Lahir di Baddo-Baddo, Maros, pada 31 Desember 1966, Budu tumbuh dalam kesederhanaan, tetapi kaya akan nilai-nilai kehidupan. Pendidikan agama menjadi dasar yang kuat dalam kesehariannya. Selain dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolah, ia juga aktif mengaji, membaca Barzanji, dan mengikuti lomba tilawatil Quran.

Sejak SD, Budu selalu meraih peringkat pertama. Prestasinya ini membawanya mendapatkan beasiswa Supersemar sejak kelas 3 SD hingga tamat. Ini menjadi titik awal perjalanan akademiknya.

Ia kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Batangase, Mandai, Maros, dan kembali mendapat beasiswa yang menanggung seluruh biaya sekolahnya.

Baca Juga : Sulsel Bertumbuh Baik, Dua Guru Besar Unhas Jempol Pj Gubernur

Bakat dan kerja kerasnya terus bersinar di SMA Negeri 7 Makassar. Selama tiga tahun berturut-turut, ia selalu meraih peringkat teratas di kelas IPA. Dengan tekad kuat, ia memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, meskipun menyadari tantangan besar dalam pembiayaan.

Dari Fakultas Kedokteran ke Jepang

Berkat kecerdasannya, Budu lolos ujian masuk Fakultas Kedokteran Unhas pada tahun 1985. Saat libur semester, ia pulang ke kampung untuk membantu orang tua di sawah, menanam padi dan ubi.

Hasil panen menjadi tambahan biaya untuk pendidikannya. Untungnya, mulai semester dua, ia mendapatkan beasiswa Yayasan Pendidikan Latimojong, yang dikelola oleh Prof. Ahmad Amiruddin dan rekan-rekannya.

Setelah lulus pada tahun 1993, ia menjalani masa bakti sebagai Dokter Tidak Tetap (PTT) di Puskesmas Pattingalloang Makassar dan bertugas di beberapa pulau kecil di sekitar Makassar. Namun, perjalanannya tidak berhenti di situ. Ia kembali ke Unhas untuk mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis Mata.

Baru satu semester menjalani pendidikan spesialis, Budu mendapat kesempatan emas untuk studi S3 (Ph.D Program) di Toyama Medical and Pharmaceutical University, Jepang, pada tahun 1997.

Baca Juga : Mentan Amran dan Akademisi Optimistis Wujudkan Swasembada Pangan

Kesempatan ini datang berkat bantuan Prof. Chairuddin Rasjad, Ph.D, yang mempertemukannya dengan Prof. Takafumi Hayashi, seorang dokter dermawan Jepang. Dengan beasiswa YUAI Byoin, Budu menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2002.

Menyandang Gelar Guru Besar

Sekembalinya ke Indonesia, Budu melanjutkan pendidikan spesialis mata dan menyelesaikannya pada April 2004. Ia kemudian mengikuti fellowship training di RSCM Jakarta dalam bidang Vitreoretina Medical & Surgery.

Pada tahun 2011, ketika menjabat Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Unhas, ia mendapatkan tugas untuk melanjutkan studi S2 di bidang Medical Education di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ini adalah bagian dari kebijakan agar setiap fakultas kedokteran memiliki ahli pendidikan kedokteran. Pendidikan ini pun sepenuhnya dibiayai oleh Unhas.

Puncak pencapaiannya terjadi pada tahun 2012, ketika ia resmi meraih gelar Guru Besar dalam Ilmu Kesehatan Mata dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Tak Pernah Lupa Bersyukur

Kini, Budu adalah sosok yang menginspirasi banyak generasi muda, terutama mereka yang berasal dari latar belakang sederhana. Ia percaya bahwa beasiswa bukan sekadar bantuan finansial, tetapi juga pintu bagi anak-anak berprestasi untuk mengubah masa depan mereka.

“Sejak SD hingga pendidikan spesialis dan S3 di Jepang, saya selalu mendapatkan beasiswa. Namun, saya tetap yakin bahwa doa dan keringat orang tua saya lah yang mengantarkan saya ke puncak ini,” tuturnya dengan penuh syukur.

Dari sawah di Baddo-Baddo hingga panggung akademik nasional dan internasional, perjalanan Prof. Budu adalah bukti bahwa pendidikan adalah jembatan menuju mimpi, selama ada tekad, kerja keras, dan sedikit keberuntungan dari beasiswa yang membuka jalan.

Comment