Makassar, Netral.co.id – Narasi kritis yang disampaikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas) terkait isu netralitas politik dalam pemilihan rektor mendapat perhatian dari alumni. Salah satunya datang dari Syahrullah Sanusi, S.Sos., M.Si, yang menegaskan bahwa Universitas Hasanuddin tidak boleh dijadikan arena politik praktis.
Melalui unggahan di media sosial Instagram pada Jumat, 12 Desember 2025, BEM FKM Unhas mengangkat isu bertajuk Netralitas Politik dalam Pendidikan Tinggi dengan subtema Rektor Tidak Boleh Berpolitik. Narasi tersebut menekankan pentingnya menjaga kampus sebagai ruang akademik yang steril dari intervensi politik praktis.
Dalam pernyataannya, BEM FKM Unhas menyoroti berbagai regulasi yang menegaskan kewajiban menjaga pendidikan tinggi dari kepentingan politik. Mereka menilai keterlibatan politik praktis oleh pimpinan universitas berpotensi mengganggu kebebasan akademik, merusak iklim ilmiah yang inklusif, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap objektivitas perguruan tinggi.
“Secara akademik, keterlibatan politik dapat mengganggu kebebasan keilmuan. Secara kelembagaan, berisiko menimbulkan konflik kepentingan dan polarisasi internal. Bahkan secara hukum, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika dan tata kelola ASN,” tulis BEM FKM Unhas dalam unggahannya.
Menanggapi hal tersebut, Syahrullah Sanusi menyatakan bahwa intervensi politik dalam proses pemilihan rektor masih menjadi persoalan serius di lingkungan perguruan tinggi. Ia mempertanyakan sejauh mana kebebasan akademik benar-benar dijalankan di kampus.
“Perguruan tinggi memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan agen perubahan sosial, bukan sebagai ruang berlangsungnya politik praktis. Ini telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,” ujar Syahrullah saat diwawancarai melalui telepon, Sabtu, 13 Desember 2025.
Menurutnya, terdapat indikasi bahwa salah satu calon rektor telah menyeret institusi kampus ke dalam pusaran politik praktis. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas yang seharusnya dijaga oleh pimpinan perguruan tinggi.
“Kampus harus tetap menjadi ruang akademik yang objektif. Pimpinan universitas boleh memiliki hak politik sebagai warga negara, tetapi tidak boleh membawa kepentingan politik praktis ke dalam institusi kampus,” tegasnya.
Syahrullah berharap seluruh sivitas akademika dapat menahan diri dari tindakan yang berpotensi mencederai marwah Universitas Hasanuddin. Ia menilai momentum pemilihan rektor seharusnya dimanfaatkan untuk memilih pemimpin yang mampu memajukan universitas secara akademik dan kelembagaan, tanpa kepentingan politik praktis.

Comment