Seleksi Sekda NTB dan Pertaruhan Meritokrasi Birokrasi Daerah

Seleksi terbuka calon Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan publik. Jabatan strategis ini bukan sekadar posisi administratif tertinggi, melainkan poros yang menentukan ritme birokrasi, konsistensi kebijakan, dan keberhasilan kepala daerah menerjemahkan visi politik ke dalam kinerja pemerintahan.

Ilustrasi beberapa orang memperebutkan kursi kekuasaan. (Foto: Netral.co.id/A.R).

Netral.co.id – Seleksi terbuka calon Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan publik. Jabatan strategis ini bukan sekadar posisi administratif tertinggi, melainkan poros yang menentukan ritme birokrasi, konsistensi kebijakan, dan keberhasilan kepala daerah menerjemahkan visi politik ke dalam kinerja pemerintahan.

Karena itu, setiap proses pemilihan Sekda selalu lebih dari urusan kepegawaian ia adalah cermin arah tata kelola yang ingin dibangun.

Tahun ini, dinamika seleksi terasa berbeda. Meski berlangsung secara terbuka dan sesuai regulasi nasional, diskursus publik kembali mengerucut pada satu pertanyaan mendasar: apakah ASN lokal sudah cukup siap memimpin birokrasi sendiri, atau figur dari luar daerah lebih dibutuhkan untuk menjawab tantangan pembangunan NTB?

Pertanyaan ini bukan persoalan sentimen kedaerahan, melainkan ujian kepercayaan terhadap kapasitas sumber daya aparatur daerah.

Sepuluh kandidat dengan latar belakang beragam baik dari internal Pemprov NTB maupun kementerian/lembaga nasional menunjukkan bahwa jabatan ini sangat diminati. Tahapan seleksi pun telah memenuhi syarat minimal dan berlanjut ke asesmen kompetensi di BKN. Di atas kertas, semua berjalan baik.

Namun di balik mekanisme formal tersebut, ada isu lebih penting: apakah proses ini sungguh mencerminkan keterbukaan dan keadilan dalam birokrasi daerah?

Lokal vs Luar Daerah: Dikotomi yang Sering Menyesatkan

Sekda sering disebut sebagai jantung birokrasi. Ia harus memastikan koordinasi antarlembaga, merawat konsistensi kebijakan, dan menjaga ritme administrasi di tengah turbulensi politik.

Dalam konteks NTB, peran ini makin strategis karena gubernur mengusung visi pembangunan yang ambisius membutuhkan dapur birokrasi yang rapi sekaligus jejaring eksternal yang kuat.

Di sinilah perdebatan muncul. ASN lokal kerap dianggap memahami budaya birokrasi, struktur sosial, dan karakteristik wilayah NTB yang bercorak kepulauan. Keunggulan ini penting karena kebijakan yang efektif tak selalu bisa disalin dari tempat lain tanpa adaptasi.

Namun, ada pula argumen bahwa figur luar daerah membawa pengalaman nasional, jejaring luas, dan perspektif baru untuk memutus siklus kebiasaan lama yang tidak produktif. Sayangnya, dikotomi ini sering menyederhanakan persoalan.

Banyak ASN lokal yang kompeten dan berintegritas. Sebaliknya, ASN luar pun belum tentu cepat beradaptasi dengan kompleksitas sosial dan budaya NTB.

Risiko Psikologis: Demoralisasi ASN Lokal

Yang sering luput dari pembahasan adalah konteks karier ASN daerah. Jabatan Sekda merupakan puncak karier birokrasi. Jika kursi strategis ini terlalu sering diberikan kepada figur dari luar daerah, muncul risiko demoralisasi ASN lokal. Mereka dapat merasa bahwa puncak karier tidak benar-benar terbuka bagi yang telah lama mengabdi.

Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan motivasi, kreativitas, bahkan loyalitas birokrasi.

Namun menutup diri dari kandidat luar juga bukan solusi. Seleksi terbuka hadir justru untuk memastikan kompetisi sehat dan berbasis meritokrasi.

Kunci Utama: Meritokrasi yang Komprehensif

Merit tidak boleh sekadar dimaknai sebagai ijazah dan pengalaman struktural. Ia harus mencakup:

  • kemampuan membaca konteks sosial-budaya daerah,
  • kecakapan membangun kepercayaan internal,
  • kapasitas mengelola perubahan,
  • pengalaman memimpin lintas sektor, dan
  • komitmen memperkuat kualitas birokrasi jangka panjang.

Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan: Sekda dari luar daerah memerlukan masa adaptasi yang tidak singkat. Jika masa transisi ini tidak dikelola dengan baik, percepatan program pembangunan dapat terganggu. Sebaliknya, Sekda lokal sering lebih cepat bekerja, meski tetap membutuhkan injeksi inovasi.

Momentum Menguatkan Kepercayaan Publik

Seleksi Sekda NTB mesti menjadi momentum memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem merit. Transparansi setiap tahapan, asesmen kompetensi yang ketat, dan keterbukaan informasi adalah fondasi mendasar.

Jika kandidat lokal terbukti paling unggul, memilihnya adalah bentuk keberanian politik dan investasi jangka panjang bagi birokrasi NTB. Namun jika kandidat luar daerah memperoleh skor terbaik, tantangan berikutnya adalah memastikan transfer pengetahuan dan penguatan kapasitas ASN lokal berlangsung sistematis.

Sekda bukan hanya administrator, melainkan pemimpin birokrasi yang bertugas mencetak kader, bukan semata mengelola rutinitas.

Menjawab dengan Proses, Bukan Prasangka

Pertanyaan “siapkah warga lokal menjadi Sekda NTB?” seharusnya dijawab lewat proses seleksi yang objektif, bukan prasangka.

Sekda NTB ke depan harus mampu menjembatani visi besar pembangunan dengan realitas lapangan, memperkuat profesionalisme ASN, menjaga transparansi tata kelola, dan meneguhkan semangat pengabdian dalam bingkai NKRI.

Dari birokrasi yang berintegritas, kepercayaan publik tumbuh. Dan dari kepercayaan itulah pembangunan menemukan pijakannya.

Comment