Kebenaran yang Tenggelam dalam Kebisingan

16f0c36d 7e94 4614 831c 9858c03bf448

Netral.co.id – Di era gawai pintar, muncul kebiasaan baru yang makin sering terlihat: menuduh seseorang melakukan “pelecehan” tanpa menyebut apa yang dilecehkan, kapan kejadiannya, di mana tempatnya, dan siapa pelakunya.

Tuduhan dilempar seperti pesawat kertas—melayang tanpa arah, berharap mengenai kepala orang lain tanpa bukti maupun tanggung jawab.

Padahal negara tidak sedang bermain petak umpet. UU TPKS No. 12 Tahun 2022 mengatur kekerasan seksual secara sangat rinci. Jenisnya jelas, unsurnya jelas, dan konsekuensi hukumnya juga tegas.

Tidak ada satu pun pasal berbunyi, “asal kamu tersinggung, itu pelecehan.” Hukum tidak bekerja dengan logika perasaan semata.

Hal yang sama berlaku dalam Permendikbud 55 Tahun 2024, yang dirumuskan untuk memastikan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan berlangsung sesuai prosedur dan standar yang ketat.

Regulasi ini bukan dibuat untuk memberi ruang bagi siapa pun memelintir ketidaknyamanan menjadi skandal demi memenangkan argumen.
Tuduhan tanpa data adalah bentuk kekerasan baru: kekerasan terhadap nalar.

Ia merusak reputasi seseorang tanpa proses, memukul nama baik tanpa bukti, dan menguras energi publik untuk hal-hal yang sebetulnya bisa selesai hanya dengan satu pertanyaan: Apa sebenarnya yang terjadi?
Di ruang publik, dramatisasi memang lebih cepat viral daripada klarifikasi.

Namun hukum tidak bergerak mengikuti kecepatan gosip. Hukum menuntut kronologi, detail, dan keberanian menyebut fakta. Menuduh tanpa fondasi bukan keberanian; itu hanyalah ketakutan yang disamarkan dengan suara yang keras.

Dalam masyarakat yang sehat, kata “pelecehan” tidak boleh menjadi peluru kosong. Ia hanya boleh ditembakkan ketika ada korban, bukti, waktu, tempat, dan pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika tidak, kita sedang mempermainkan isu serius dengan cara yang sangat tidak serius.

Masyarakat akan menjadi lebih kuat ketika tuduhan dipandang sebagai jalan menuju keadilan, bukan alat retorika saat emosi memanas. Ketika fakta memimpin, drama berhenti mendapat panggung.

Dan ketika logika berdiri tegak, siapa pun yang mencoba mengaburkan kebenaran akan tampak seperti bayangan yang jatuh tersandung oleh cahaya itu sendiri.

Isu pelecehan bukan panggung sandiwara. Ia adalah ranah hukum—dan hukum hanya meminta satu hal: kebenaran yang bisa diuji. Dari sanalah keadilan mulai bekerja, dan dari sanalah drama berhenti menjadi alat pemukul.

Forum Masyarakat Pemerhati Pendidikan Sulawesi Selatan
Oleh: Muhammad Rafii

Comment