Jakarta, Netral.co.id – Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyatakan penolakan terhadap rencana pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Kedua ormas menilai gelar tersebut seharusnya hanya diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas moral serta rekam jejak perjuangan yang bersih.
Dari Muhammadiyah, kritik disampaikan oleh Usman Hamid, Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah. Ia menegaskan bahwa seorang pahlawan harus konsisten memperjuangkan kebenaran hingga akhir hayatnya.
“Jika seseorang meninggal dengan status tersangka atau terlibat dalam dugaan kejahatan, termasuk pelanggaran HAM, korupsi, atau kejahatan lingkungan, tentu sulit menempatkannya sebagai pahlawan,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Kamis (6/11/2025).
Usman juga menyoroti bahwa perkara hukum terkait dugaan korupsi yang melibatkan Soeharto tidak pernah tuntas.
“Soeharto meninggal ketika sedang menjalani proses hukum. Bahkan di Asia Tenggara, ia pernah dinilai sebagai salah satu pemimpin paling buruk,” katanya.
Ia menambahkan, pahlawan sejati adalah sosok yang berani mempertahankan moral dan berkorban untuk rakyat, bukan sekadar mereka yang berkuasa lama.
“Bagaimana mungkin Soeharto disejajarkan dengan tokoh seperti Gus Dur atau Marsinah,” tegasnya.
Sikap serupa muncul dari kalangan NU melalui Mustasyar PBNU, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Ia secara lugas menyatakan ketidaksetujuannya.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus, Rabu (5/11/2025).
Gus Mus mengenang tekanan yang dialami banyak kiai dan ulama pada masa Orde Baru. Ia menyebut sejumlah kiai mengalami perlakuan tidak adil, termasuk pembatasan simbol-simbol organisasi dan tekanan politik terhadap tokoh NU.
“Banyak kiai yang dulu ditekan, papan nama NU dilarang dipasang. Adik saya sendiri keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkapnya.
Ia juga mengisahkan bagaimana Kiai Sahal Mahfudh menolak permintaan untuk menjadi penasehat Golkar Jawa Tengah.
“Kiai Sahal didatangi pengurus Golkar, tapi beliau menolak. Saya menyaksikannya sendiri,” tambahnya.
Gus Mus menegaskan bahwa banyak ulama besar yang berjasa, namun keluarga mereka tidak pernah meminta gelar pahlawan demi menjaga keikhlasan.
“Mereka menghindari riya’. Banyak yang berjuang tanpa berharap pengakuan,” ujarnya.
Menurutnya, warga NU yang mendukung pengusulan gelar bagi Soeharto menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah kelam masa lalu.
“Orang NU kalau ada yang ikut mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.

Comment