KPK Minta DPR Pastikan RKUHAP Tak Melemahkan Kewenangannya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti sejumlah pasal dalam draf Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai berpotensi melemahkan kewenangannya. Ketua KPK Setyo Budiyanto menyatakan, lembaganya telah menerima informasi adanya pengecualian pasal-pasal upaya paksa yang berkaitan langsung dengan lex specialis Undang-Undang KPK.

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: dok)

Jakarta, Netral.co.idKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti sejumlah pasal dalam draf Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai berpotensi melemahkan kewenangannya. Ketua KPK Setyo Budiyanto menyatakan, lembaganya telah menerima informasi adanya pengecualian pasal-pasal upaya paksa yang berkaitan langsung dengan lex specialis Undang-Undang KPK.

“Ya, kami sudah mendapatkan informasi ada pengecualian. Artinya, mengacu pada lex specialis yang ada dalam UU KPK,” ujar Setyo di Jakarta, Rabu (30/8/2025).

KPK, lanjut Setyo, telah menyerahkan 17 poin rekomendasi kepada DPR terkait pasal-pasal krusial dalam draf RKUHAP yang berpotensi bertentangan dengan UU KPK. Rekomendasi tersebut dibahas bersama para ahli hukum dan kelompok masyarakat sipil.

“Harapannya, sampai nanti UU ini disahkan, tidak ada satupun pasal yang melemahkan, merugikan, atau bahkan menghilangkan kewenangan KPK,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menepis tudingan bahwa RKUHAP akan menghapus sifat lex specialis tindak pidana korupsi. Menurutnya, draf yang disusun justru menegaskan KUHAP berlaku umum, kecuali diatur berbeda dalam UU lain seperti UU Tipikor dan UU KPK.

“Tidak benar bahwa KUHAP menghilangkan sifat lex specialis UU Tipikor dan UU KPK,” kata Habib, Rabu (23/7/2025).

Adapun 17 isu krusial yang diidentifikasi KPK dalam RKUHAP antara lain:

  1. Konflik lex specialis dengan UU KPK (Pasal 329 & 330).
  2. Pembatasan hukum acara KPK (Pasal 327 huruf a).
  3. Penyelidik KPK tidak diakui (Pasal 1 angka 7 dan Pasal 20).
  4. Definisi penyelidikan tak sesuai praktik KPK (Pasal 1 angka 8).
  5. Keterangan saksi di penyelidikan tidak diakui (Pasal 1 angka 40).
  6. Penetapan tersangka hanya di tahap penyidikan (Pasal 1 angka 25).
  7. Penghentian penyidikan wajib libatkan Polri (Pasal 25 ayat 3).
  8. Pelimpahan berkas melalui Polri (Pasal 7 ayat 5, Pasal 8 ayat 3).
  9. Penggeledahan wajib didampingi penyidik Polri lokal (Pasal 43, 44, 109).
  10. Penyitaan butuh izin Ketua PN (Pasal 112).
  11. Penyadapan hanya di tahap penyidikan dengan izin PN (Pasal 124, 126, 129).
  12. Cegah lari ke luar negeri hanya berlaku bagi tersangka (Pasal 133).
  13. Praperadilan dapat menghambat sidang pokok perkara (Pasal 154 ayat 1 huruf d).
  14. Kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diatur (Pasal 161–164).
  15. Perlindungan saksi/pelapor hanya oleh LPSK (Pasal 55 ayat 4).
  16. Penuntutan luar daerah hanya lewat Jaksa Agung (Pasal 62).
  17. Pasal penuntut umum tidak eksplisit mengakui KPK (Pasal 60).

KPK menegaskan, reformulasi atau penghapusan sejumlah pasal menjadi penting untuk menjamin tidak ada pelemahan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Comment