Dompu, Netral.co.id – Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) 09 Dompu, Nusa Tenggara Barat, diduga menerbitkan secara tidak sah Surat Keputusan (SK) honorer untuk suami dan adik kandungnya.
SK tersebut digunakan sebagai syarat mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2024.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, suami berinisial FE (46) dan adik kandung SI (44), dilantik sebagai ASN PPPK oleh Bupati Dompu Bambang Firdaus pada Sabtu 28 Juni 2025 lalu.
Keduanya tercatat sebagai peserta seleksi P3K dengan dasar SK honorer sejak 2019 hingga 2024. Namun, sejumlah guru menyebut SK tersebut tidak sesuai fakta.
“Kami tahu betul, mereka baru aktif tahun lalu. Suaminya baru masuk Agustus 2024, sedangkan adiknya April 2025. Tapi tiba-tiba sudah ada SK dari 2019,” kata salah satu guru SDN 09 Dompu, Selasa 1 Juli 2025.
Para guru juga mengaku telah melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut ke Dinas Pendidikan dan BKD. Mereka meminta agar SK pengangkatan P3K keduanya ditinjau ulang, serta agar kepala sekolah dievaluasi.
Menurut para guru, kehadiran suami dan adik kepala sekolah pun minim. “Kalaupun datang, hanya sekali seminggu dan tidak pernah isi absensi. Kami merasa dibohongi,” ujar mereka.
Salah satu guru bahkan menyebutkan bahwa FE sempat menjadi honorer di Kantor Cabang Dinas (KCD) Dompu pada 2018, tapi tidak berlanjut. Sementara SI disebut-sebut pernah berstatus CPNS K2 namun diberhentikan pada 2016.
Sementara itu, Kepala SDN 09 Dompu, Yati Kusmiyanti, membantah tudingan tersebut. Ia menyebut suami dan adiknya telah terdaftar dalam database honorer Kategori 2 (K2), dan hanya pindahan dari sekolah lain.
“Mereka sudah ada dalam data K2. Di SDN 09 hanya melanjutkan status honorer mereka,” kata Yati.
Kasus ini menjadi perhatian publik, terlebih di tengah upaya pemerintah menerapkan sistem rekrutmen ASN berbasis digital dan data terintegrasi.
Banyak pihak mendorong penggunaan teknologi verifikasi berbasis Google Form atau sistem absensi daring agar praktik manipulasi data bisa diminimalisir.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak BKD Dompu ataupun Dinas Pendidikan setempat.
Dugaan tindakan ini dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur larangan penyalahgunaan wewenang oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, yang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3, menjadi dasar hukum dalam menjerat kasus penyalahgunaan wewenang yang berindikasi korupsi.
Comment