Jakarta, Netral.co.id – Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal agar tidak lagi digelar secara serentak. Menurutnya, langkah ini merupakan terobosan penting dalam penyelenggaraan demokrasi yang lebih efisien dan partisipatif.
“Putusan MK menjadi angin segar yang membuka ruang untuk mendesain ulang sistem kepemiluan nasional secara lebih sistematis, rasional, dan partisipatif,” ujar Neni dalam keterangan tertulis, Minggu (29/6/2025).
Ia menilai pelaksanaan pemilu serentak lima kotak seperti pada Pemilu 2019 dan 2024 menimbulkan beban administratif dan teknis yang sangat besar bagi penyelenggara. Selain itu, model pemilu tersebut juga membingungkan pemilih karena harus memilih lima jabatan sekaligus dalam satu hari, dengan jumlah calon yang sangat banyak.
“Situasi ini menyulitkan pemilih untuk mengambil keputusan yang rasional dan berbasis informasi,” tambahnya.
Tak hanya bagi pemilih, partai politik pun disebut mengalami kesulitan dalam menyiapkan calon legislatif dan eksekutif di semua tingkatan secara bersamaan. Hal itu, menurut Neni, mendorong praktik rekrutmen instan yang mengandalkan popularitas alih-alih kompetensi.
“Kompleksitas inilah yang mendorong MK menilai bahwa pemilu serentak total tidak lagi relevan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan efektivitas penyelenggaraan negara,” jelasnya.
Menyusul putusan tersebut, DEEP mendorong agar revisi terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada segera dilakukan secara menyeluruh dan terbuka, dengan melibatkan partisipasi publik dan menjauh dari kepentingan jangka pendek elite politik.
“Kedua undang-undang itu harus dikodifikasi dan disusun secara terintegrasi, agar tidak terjadi tumpang tindih aturan serta dapat lebih mudah dipahami oleh penyelenggara dan masyarakat,” tegas Neni.
Ia juga menekankan pentingnya penetapan desain waktu yang ideal antara pelaksanaan pemilu nasional dan daerah, sebagaimana telah diatur dalam amar putusan MK, yakni dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun.
“Dengan adanya jeda ini, partai politik memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan kader dan strategi secara lebih matang, terutama di level lokal,” pungkasnya.
Comment