Jakarta, Netral.co.id – Revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS).
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, menyebut revisi ini penuh keganjilan, terutama karena dibahas secara tertutup oleh Komisi I DPR RI dan pemerintah di Fairmont Hotel, Jakarta (14-15 Maret 2025).
KontraS bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mencatat empat poin utama yang menjadi ancaman dalam revisi UU TNI:
- Profesionalisme TNI Terancam
Revisi UU TNI memungkinkan militer masuk lebih dalam ke ruang sipil, seperti yang terjadi pada era Orde Baru (Orba).
Dampaknya:
Prajurit aktif bisa ditugaskan ke berbagai kementerian dan lembaga sipil, sehingga mengaburkan batas antara peran militer dan sipil.
TNI akan terlibat dalam berbagai tugas yang di luar fungsi utama sebagai alat pertahanan negara, yang justru berpotensi menurunkan profesionalisme militer.
“TNI seharusnya hanya menjalankan tugas pokok sebagai alat pertahanan negara, bukan mengambil peran di sektor sipil,” tegas Dimas.
Baca Juga : Bayang-Bayang Orde Baru dan Pasal Krusial dalam Revisi UU TNI
- Operasi Militer Meluas, Tidak Hanya untuk Perang
Revisi UU TNI menambah cakupan operasi militer di luar perang, yang mencakup:
Penanggulangan ancaman siber
Perlindungan WNI di luar negeri
Pengamanan kepentingan nasional
Pemberantasan narkoba
Dampaknya:
Peran TNI dalam penegakan hukum akan semakin besar, meskipun sudah ada kepolisian dan lembaga lainnya yang menangani masalah tersebut.
Ruang sipil semakin terisi oleh institusi militer, yang berpotensi mengurangi kontrol demokrasi dan supremasi hukum.
Baca Juga : Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan: Tolak Dwifungsi ABRI!
“Penegakan hukum adalah tugas Polri dan lembaga sipil lainnya. Jika TNI masuk, bisa terjadi tumpang tindih wewenang,” tambahnya.
- Ancaman Kembalinya Dwifungsi ABRI
Revisi UU TNI dinilai membuka pintu kembalinya konsep Dwifungsi ABRI, di mana militer bukan hanya bertugas untuk pertahanan, tetapi juga terlibat dalam urusan sipil dan pemerintahan.
Dampaknya:
Militer dapat mengemban tugas-tugas di luar fungsinya, seperti mengelola pemerintahan, proyek strategis, hingga keamanan dalam negeri.
Menurunkan netralitas TNI dan berpotensi menambah dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.
“Saat ini saja sudah banyak prajurit aktif yang ditempatkan di jabatan sipil di luar ketentuan UU. Jika revisi ini disahkan, tren ini bisa semakin meluas,” ujarnya.
- Potensi Meningkatnya Kekerasan oleh TNI
KontraS menyoroti bahwa TNI sering terlibat dalam bentrok dan kekerasan terhadap warga, terutama saat mengamankan proyek strategis nasional.
Dampaknya:
TNI bisa semakin leluasa dalam menggunakan pendekatan keamanan yang represif, terutama terhadap masyarakat yang menolak proyek tertentu.
Pelanggaran HAM berpotensi meningkat, karena militer memiliki wewenang lebih besar tanpa mekanisme pengawasan yang kuat.
“Jika revisi UU ini disahkan, akan semakin banyak konflik antara TNI dan masyarakat, karena mekanisme pengawasan tidak jelas,” tegasnya.
Revisi UU TNI Harus Dikaji Ulang
KontraS dan berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak Komisi I DPR RI dan pemerintah untuk menunda pembahasan revisi UU TNI.
TNI harus tetap fokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara, tanpa campur tangan dalam urusan sipil dan politik.
Pemerintah dan DPR harus melibatkan publik dalam proses revisi, bukan membahasnya secara tertutup.
Peran dan fungsi militer dalam demokrasi harus tetap dalam koridor konstitusi, tanpa membuka celah bagi kembalinya militerisme di ruang sipil.
“Reformasi TNI adalah agenda besar demokrasi Indonesia. Jangan sampai revisi UU ini justru menjadi langkah mundur ke era Orde Baru,” pungkas Dimas.
Comment